Sebagai Bangsa (majemuk) dengan heterogenitas suku, bahasa, agama dan kedaerahan menjadi sebuah nation identity sekaligus modal alami negara Indonesia dalam menghadapi pelbagai persoalan, baik domestik maupun mancanegara. Persatuan dan kesatuan Bangsa adalah hal fundamental dan mutlak dalam upaya membangun budaya politik nasional secara komprehensif sesuai dengan amanat para founding fathers Bangsa, dan falsafah Pancasila menjadi sublimasi sekaligus titik temu dalam merajut perbedaan menjadi sebuah kekuatan.
Majid Fakhri dalam buku “A History of Islamic Philosophy” menerangkan bahwa pemikiran politik al-Farabi mencerminkan hubungan yang akrab antara metafisika dengan ilmu politik, dimana relasi pandangan organik manusia dengan Tuhan., sesama manusia dan sebagai perluasan (highest manifestation) yang tingkat tertingginya adalah pencapaian ilmu pengetahuan tentang Tuhan. Sebagaimana halnya Plato menceritakan manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri-sendiri. Mereka harus hidup rukun, damai, saling membantu untuk mewujudkan tujuan hidup bersama, yaitu menggapai kebahagiaan. Baik al-Farabi maupun Plato menempatkan moral atau etika sebagai sokoguru utama dan terutama bagi negara ideal yang dicita-citakan.
Selain sebagai bangsa yang multikultural, juga sebagai negara-negara yang berdasarkan hukum atau rechtstaats, Indonesia berpenduduk mayoritas beragama Islam diantara lima agama lainnya. Pun, merupakan tanah yang subur dalam mengembangkan aliran kepercayaan dan lestarinya kearifan lokal. Misalnya di Jawa, secara umum interpretasi dan orientasi pada partai politik (islam) sebagai sub-kultur telah menghasilkan banyak gaya dan corak (Santri, Priyayi dan Abangan) yang menggambarkan intensitas dan kualitas pengaruh Islam terhadap etos suatu komunitas dan inframe keagamaan dalam membentuk orientasi politik, loyalitas dan afiliasi agama seperti apa yang dikemukakan oleh Geertz. Kebudayaan Jawa dan Agama Islam adalah dua entitas yang sukar dipisahkan, menciptakan dimensi ko-eksistensi sinkretik sehingga ihwal kebudayaan Jawa hampir tidak dapat dipisahkan dari Islam, termasuk dalam bidang (afiliasi) politik.
Tentang tema “Politik” bak mata air, tak pernah mengering dan terus diperbincangkan dalam banyak sudut pandang, ruang dan dimensi, walaupun politik selalu diidentifikasi hanya soal kekuasaan. Cita-cita mulia politik jangan sampai tereduksi kedalam ruang kosong nan sempit. “Kalau santri gak mau bahas politik dan terjun politik, memangnya Islam mau disalurkan lewat apa? Seribu fatwa haram melacur itu masih kalah dengan satu tanda tangan penutupan lokalisasi” Gus Baha. Artinya, dalam hal ini politik bukan hanya sebatas cara-cara teknis atau kekuasaan namun memberikan rasa keadilan dan ketertiban secara umum. Walaupun, budaya politik yang mulia tersebut acapkali terganggu bahkan terbelenggu oleh kepentingan pragmatis para oligarki dan “oknum” politisi yang kerap menghalalkan banyak cara dalam mendulang suara, menjadi fenomena dalam pesta demokrasi.
Baca Juga: Politik Islam: 4 Dasar Utama dalam Berpolitik yang Baik
Di negara-negara demokrasi, pembelaan masyarakat terhadap tujuan keagamaan dapat diwujudkan melalui politik, artinya partai politik merupakan sarana untuk menjembatani dan mengartikulasikan cita-cita keagamaan dan realitas tata cara hidup secara vertikal maupun horizontal. Lihat bagaimana ketika masyarakat atau santri akan kesulitan menolak ajakan ulama-kiai dalam menentukan pilihan pada setiap pemilihan. Dengan sendirinya tokoh agama menjadi instrumen penting dalam menggambarkan intensitas dan kualitas demokrasi, tak mustahil membentuk oriented politics masyarakat. Tokoh agama (ulama-kiai) yang awalnya bergerak di jalur kultural yang dalam bahasa Geertz disebut cultural broker (makelar budaya), di tengah arus proses politik sekarang ini seakan menjadi aktor pemberi legitimasi politik, merambah wilayah politik partisan, dukung-mendukung (legitimasi) yang seringkali dinamakan dengan istilah memberi restu atau silaturahim.
Relasi kuasa politik identitas agama dan negara di Indonesia bukanlah tema yang baru. Fenomena politik primordial menurut Pierre Van Den Bergh (1991) adalah politik identitas sebagai given memberikan argumentasi bahwa fenomena agama termasuk kategori sosio-biologis dengan penguatan identitas etnik dan agama sebagai kepentingan kolektif dengan mengartikulasikan pandangan masa lalu sekaligus membentuk visi ke depan atas asas kesamaan wilayah, agama, kebudayaan, bahasa serta kebiasaan alami, juga sebagai alat manipulasi dan mobilisasi. Bahkan di era akhir-akhir ini sejumlah penelitian menunjukkan tren peningkatan primordialisme berbasis identitas agama, etnis, dan kelas melalui media sosial, selain itu juga masih berlangsungnya proses produksi dan reproduksi informasi palsu di media sosial yang berfokus pada kepentingan politik tertentu (Saddam et. Al., 2020).
Dalam masyarakat modern, penerimaan ikatan primordial ke tingkat supremasi politik tentu saja merupakan sebuah hal yang sah, juga keterlibatan tokoh agama (ulama-kiai) dalam politik praktis walaupun ada juga sebagian masyarakat memberikan respon ketidakpuasannya. Dalam keberadaannya di dunia politik, kecenderungan sentimen praktik primordialisme telah memberikan koreksi pada perjalanan sebuah Bangsa. Seperti garis keturunan atau Ras (teori etnobiologis), linguistik, wilayah (case study ketegangan antara Pakistan Timur dan Barat sekarang berubah menjadi Bangladesh dan Pakistan), kemudian Agama, yang menjadikan identifikasi primordialistik menjadi lebih ikonik dan yang terakhir adalah kebiasaan (adat istiadat) yang menyebabkan bentrokan bahkan permusuhan antar suku. Kondisi di Indonesia juga menunjukan adanya ekses negatif dari keanekaragaman ini dengan banyaknya konflik yang terjadi, salah satu konflik berbasis primordial di Indonesia banyak melibatkan penduduk etnis Tionghoa dengan pribumi. Purdey (Resminingayu, 2020) berpendapat bahwa orang menyalahkan pedagang terutama orang Indonesia Tionghoa karena kondisi ekonomi yang turun.
Politik primordialisme memang tidak pernah mati dalam arena politik, sama halnya bagaimana relasi kuasa politik primordial, ketika identitas agama menjadi sebuah kekuatan politik, dan sikap primordial yang menguatkan kesamaan paham lokal akan membuahkan efek domino (negatif) merusak tatanan keberagaman yang telah diletakan oleh para leluhur bangsa. Momentum Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2014 dan 2019 adalah contoh nyata bagi pembenaran argumentasi tersebut. Penelitian Maemunah tahun 2020 menulis tentang bagaimana bahwa praktik politik identitas di Indonesia menemukan momentum yang eksplosif setelah Orde Reformasi Diadopsinya sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, pemekaran wilayah, sistem multi partai dan sistem pemilihan lokal, telah memicu kebangkitan politik identitas. Pada ruang lain, dukungan ulama-kiai kepada pihak (pasangan calon) tidak hanya akan mengakibatkan perpecahan tetapi juga menimbulkan kegagalan perjuangan Islam sebagaimana dipahami masyarakat.
Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 telah banyak memberikan koreksi terhadap dunia sosial politik bahkan ekonomi bangsa. Sangat terasa dampaknya, bagaimana polarisasi politik terjadi, masyarakat terbelah dua dengan saling membenarkan argumentasinya masing-masing, sebuah pelajaran berharga dalam penguatan mencapai tujuan suci demokrasi. Menjelang pemilu serentak 2024 nanti, bangsa kita akan lebih siap dengan segala konsekuensi praktik-praktik pemilu, karena pada dasarnya ruang kehidupan politik itu terus menerus mendapat perimbangan dari nilai ideal dan moral ajaran Islam. Juga peran serta ulama-kiai memberikan rasa teologis antara persepsi sosial dan politik. Tokoh agama mampu menembus lintas sektor, mengakomodir kehendak masyarakat juga peran dalam berhubungan dengan pencipta alam semesta, manusia dan lingkungan adalah bagian dari ajaran agama. Bahwa Islam merupakan salah satu model pengembangan Islam Indonesia yang multikultural, karena peran Nabi tidak hanya meningkatkan moral manusia tetapi mengajarkan Islam dengan membangun peradaban. Islam di Indonesia merupakan representasi dari konstruksi Islam lokal dan ulama-kiai berpotensi mewarnai perkembangan Islam global.
Baca Juga: Pandemi dan Ujian Politik Demokrasi