Pun, bacaan dan pergaulannya yang luas; terutama saat di pucuk pimpinan Muhammadiyah, menjadikan Buya Syafi’i amat aktif merajut jumpa dan dialog dengan semua kalangan anak bangsa lintas agama-lintas etnis. Laku ini membubuhkan ikhtiar seorang Buya Syafii sebagai aktor penting penyeru moderasi-inklusivitas beragama dan penebalan jati diri berindonesia di akar rumput maupun kalangan elite. Integritas dan semangat advokasi pada kaum marjinal tetap menyala hingga tutup usia.
Dalam buku Alquran dan Realitas Umat (2010), tergambar jelas karakter keras Buya Syafi’i menentang segala ketidakadilan dan kezaliman. Meski pernah belajar di Amerika Serikat, tetapi tak segan untuk mengkritik negara adidaya tersebut kala invasi ke Irak. Standar ganda negara Barat yang kerap dipertontonkan kepada khalayak dunia mestilah diperingatkan amat keras semaksimal, sebisa-bisanya. Itulah yang terbaca dari sikap Buya Syafii yang seakan meniru spirit apa yang dilakoni seorang pemikir kelas dunia, Noam Chomsky, terhadap pelbagai ketidakdilan.
Negara Agama?
Ada hal menarik dari Buya Syafii yang dalam buku Titik-titik Kisar di Perjalananku (2009), mengaku pernah mencita-citakan bentuk negara Islam di Indonesia. Namun, hasrat tersebut lekas terkikis dan menginsyafi kala berguru kepada tokoh besar dunia, Fazlur Rahman, di Universitas Chicago. Buya Syafi’i memilih laku keberagamaan inklusif nan progresif. Baginya, tidak perlu untuk memformalkan diktum agama dalam struktur baku pemerintahan (hukum negara). Islam sebagai agama, lebih tepat dijadikan landasan spirit dan inspirasi kehidupan umat dan masyarakat. Hal ini mengingat Indonesia merupakan kumpulan aneka agama, suku, etnis. Persatuan disorongkan ketimbang memaksakan kehendak sehimpun kelompok yang berpotensi ancaman disintegrasi anak bangsa.
Pemformalan/pembakuan agama menjadi hukum negara juga menibakan pendiskriminasian penganut agama lain. Kedudukan agama ditempatkan pada tata nilai yang mengilhami pelbagai macam keluarnya produk undang-undang. Dengan kata lain, agama berfungsi menggelarkan praktik-praktik ideal seperti penegakan keadilan, sorongan amanah/akuntabitas, transparansi. Sedangkan teknis rupa bentuk pemerintahan, merupakan area ijtihad; yang wujudnya bisa beraneka bentuk: monarki, republik, persemakmuran, dan lain-lain.
Usia Buya Syafii melampaui usia Republik ini. Beliau telah menjadi saksi mata atas pelbagai dinamika kebangsaan. Pemberontakan, perang sipil, konflik etnis, dan semacamnya, pernah beliau lihat sebagai anak bangsa. Hingga pada terminal terakhir, Buya Syafii amat memancangkan nilai persatuan dan persaudaraan di atas segala-galanya. Karena itu, teranggap penting dan keharusan menjadikan sikap dan pikiran Buya Syafii sebagai pegangan dan rujukan dalam merawat bangsa dan negara ini agar senantiasa tegak berdiri-teguh bersatu untuk selama-lamanya.